blog

blog

Minggu, 13 Februari 2011

BLUE BUBBLE BRIEF.

Jika amarah dan kebencian dilampiaskan dengan pisau belati dan api, sekalipun dilakukan oleh orang yang mengaku dirinya penjunjung peradaban dan penegak kebenaran, tetap saja kesannya tidak lebih dari kebiadaban.

Apakah seragam putih mewakili pelayanan kasih bagi sesama bila sebilah parang menebas leher saudaranya sendiri yang semestinya harus dilindungi?

Seeorang hendaknya tidak menyia-nyiakan hidup semata-mata untuk makan dan minum, tidur dan bermimpi, bergaul dan berkembang biak. Kemuliaannya diukur dengan kadar kemampuannya untuk mengaplikasikan pesan Tuhan dalam setiap perilakunya.

Untuk pribadi yang tulus dan ikhlas selalu tersedia ruang dan waktu yang terbaik.

Seperti wujud asli dan bayangannya, kebahagiaan dan penderitaan bila berjalan akan beriring, bila duduk akan bersanding.  

Jika panca indra kita terproyeksikan seluruhnya hanya pada obyektivitas dunia, kapan ada waktu untuk memanifestasikan eksistensi jiwa?

Ketika kita merujuk pada kongklusi bahwa hidup bisa diterima sebagaimana adanya, jiwapun merasa tentram selayaknya boneka garam yang berendam diair laut.     

Kita memiliki kecenderungan mirip lalat dalam hal memperhatikan. Gemar berpindah- pindah obyek dalam waktu yang singkat. Bermula dari hinggap dikulit durian, lalu pindah ke gerobak sampah, berkerumun di bangkai tikus, menimbrung ke ruang pesta. Kenapa tidak mencoba belajar konsisten seperti lebah yang berkonsentrasi hanya kepada pencarian madu dan nektar?

Siapapun yang bertengger dipuncak, bila ingin naik lebih tinggi lagi, resikonya adalah tergelincir ke dasar jurang.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar