blog

blog

Rabu, 08 Februari 2017

SIAPA KAMU? PKE ATAU PKI?


MANUSIA INDONESIA !!!
=================
Prof. Dr. Sarlito W Sarwono, Guru Besar UI
Beberapa waktu yang lalu, ketika melintasi jalan Kapten Tendean, Jakarta, yang sedang direnovasi, saya terkejut ketika melihat salah satu backhoe (alat berat penggali tanah) bermerek “Samsung” (Korea), karena selama ini yang saya ketahui Samsung adalah produser HP, smart phone, gadget dan barang-barang elektronik, yang sudah jauh menggusur posisi Sonny dan Nokia (Jepang), tetapi bukan produsen alat-alat berat. Tetapi bukan itu saja, di Indonesia para Korea ini sudah mulai menggusur Jepang di bidang kuliner (Resto Korea versus Resto Jepang), budaya pop (K-pop, Gangnam style, Boys band, Sinetron Korea dll), dan otomotif (“H” dari Hyundai versus “H” dari Honda). Padahal Korea pernah “dijajah” Jepang (1876-1945) dan orang Korea punya dendam kesumat kepada orang Jepang. Tetapi dendam itu tidak dibalaskan dengan perang lagi atau agresi politik, melainkan dengan kerja keras yang menghasilkan prestasi di bidang teknologi, ekonomi dan budaya. Dalam waktu 70 tahun kita sama-sama melihat hasilnya.
Indonesia juga pernah dijajah Jepang, tidak lama, hanya 3½ tahun, tetapi rakyat sangat menderita selama masa penjajahan yang singkat itu. Anehnya, walaupun akhirnya Jepang kalah Perang Dunia II dan Jepang diwajibkan membayar pampasan perang kepada Indonesia, setelah 70 tahun Indonesia tidak berhasil mengimbangi Jepang hampir di segala bidang. Malah di tahun 1974 terjadi peristiwa Malari (15 Januari), saat mahasiswa dan massa membakari mobil-mobil bermerk Jepang. Orang Indonesia bukannya bekerja lebih giat untuk menyaingi Jepang, tetapi menyalahkan dan menyerang si pesaing. Dalam psikologi mentalitas seperti ini disebut “ekstra-punitif” (menghakimi pihak lain) yang bersumber pada “pusat kendali eksternal” (external locus of control).
Menurut teori Pusat Kendali (locus of control: J.B. Rotter, 1954), ada dua macam tipe manusia, yaitu yang Pusat Kendalinya Internal dan Eksternal. Orang dengan Pusat Kendali Internal (PKI) percaya bahwa dirinya sendirilah yang menentukan apa yang akan terjadi dengan dirinya, bahkan lingkungan di sekitarnya pun bisa dia kendalikan sesuai dengan kebutuhannya. Sedangkan orang dengan Pusat Kendali Eksternal (PKE) jika terjadi sesuatu, cenderung menyalahkan pihak lain, bukannya mengoreksi diri sendiri.
Sebagian besar orang Indonesia, menurut hemat saya, tergolong PKE. Bukan hanya dalam kasus Malari, tetapi hampir pada setiap peristiwa sehari-hari. Kalau dalam Pilkada ada calon Bupati/Walikota yang dinyatakan gugur karena tidak memenuhi persyaratan maka kantor KPU-nya dibakar. Kalau kebanjiran menyalahkan pemerintah, kalau kekeringan minta bantuan pemerintah. Si pemerintah juga lebih senang menyalahkan alam yang tidak bersahabat. Bahkan ketika perekonomian nasional mengalami perlambatan seperti sekarang ini, para menteri di pemerintah pusat lebih senang menyalahkan faktor-faktor luar negeri (menggiatnya perekonomian dan kenaikan suku bunga di AS dll), ketimbang merekayasa perekonomian dalam negeri untuk mendongkrak laju perekonomian nasional. Pengendara motor yang melawan arus, ketika ditangkap polisi, akan membantah, “Loh, tiap hari saya liwat sini. Ada polisi, tetapi tidak pernah diapa-apakan. Kok sekarang saya mau ditilang ???"
Salah satu dampak dari sifat bangsa Indonesia yang PKE ini adalah mencari jalan pintas. Tidak punya ijasah, ya beli ijasah Aspal saja. Mau menang Pilkada, beli suara. Mau main di pengadilan beli hakimnya. Kalau tidak bisa dibeli, liwat kekerasan. Termasuk Tuhan pun dijadikan faktor yang dijadikan sarana untuk mencapai sesuatu. Ingin lulus Ujian Nasional, sholat Istigozah rame-rame. Demo anti kenaikan harga BBM, teriak “Allahu Akbar”. Tetapi karena Tuhan tidak bisa dibeli, maka yang menikmati (yang terima duit) adalah para pemain di balik agama, termasuk para da’i komersial (yang sering masuk TV dan honor tausyiahnya 10 kali lipat dari ceramah profesor), Biro perjalanan haji dan Umroh, dan para pemain politik yang menggunakan agama sebagai kendaraannya.
Akhir-akhir ini bahkan makin kuat kecenderungan untuk lebih menuhankan agama ketimbang menuhankan Tuhan (Allah) itu sendiri. Agama sudah dianggap jauh lebih penting dari pada negara, pemerintah, bendera dan lagu kebangsaan, kewarganegaraan, dsb. Kalau Kartosuwiryo yang memproklamasikan NII (Negara Islam Indonesia) di tahun 1949 (isterinya tidak berjilbab), masih mencita-citakan sebuah negara yang bernama Indonesia, JI (Jamaah Islamiah) dan ISIS (Islamic State of Iraq and Syria) tidak lagi mempersoalkan wilayah, dia maunya seluruh dunia adalah daulah Islamiah, yang dipimpin oleh seorang Amir atau Khalifah saja. Berita mutakhir, ISIS telah mengeksekusi 19 perempuan yang menolak bersetubuh dengan para pejuangnya, atas nama agama, atas nama daullah Islamiah. Padahal Allah sendiri tidak pernah mengatakan begitu. Bukankah ini menuhankan agama lebih dari pada menuhankan Allah itu sendiri ??? Apa namanya kalau bukan musyrik ???
Dampak yang serius dari mentalitas PKE adalah orang jadi malas kerja. Orang PKE yang tidak berorientasi agama memilih hidup hedonis, mumpung muda hura-hura, tua foya-foya, mati masuk alam baka (surga atau neraka? Emang gue pikirin?). Mereka terlibat Narkoba, seks berisiko, kenakalan dan kriminal untuk memenuhi kebutuhuan hedonisnya. Sementara PKE yang orientasinya agama lebih rajin berdoa (rukun Islam tidak pernah terlambat, termasauk berumuroh berkali-kali), tetapi tetap enggan bekerja serius. Bahkan mereka pikir tidak apa-apa sedikit bermaksiat juga, karena mereka pasti sudah diberi pahala dan ampun oleh Allah yang Maha Pengampun, karena ibadah mereka sudah berpuasa yang pahalanya lebih dari seribu bulan dan sudah sholat Arbain di Medinah, yang pahalanya entah berapa juta kali lipat dibandingkan shalat di masjid lain. Itulah sebabnya Indonesia tidak pernah lepas dari korupsi dan maksiat, walaupun mayoritas penduduknya adalah muslim terbanyak di dunia. Itulah sebabnya Indonesia tidak pernah lepas dari STMJ (Sholat Terus, Maksiat Jalan).
Padahal Indonesia sedang dalam era Bonus Demografi (2010-2045), yaitu saat penduduk usia produktif (15-64 tahun) berjumlah dua kali lipat dari penduduk non-produktif. Para pakar menamakannya peluang emas untuk menggenjot kemajuan di segala bidang, guna menyejahterakan dan memakmurkan bangsa, khususnya karena negara-negara lain sudah meliwati masa ini bertahun-tahun yang lalu (negara-negara maju seperti Kanada dan AS sudah mengimport imigran untuk mengisi kekurangan tenaga kerja mereka) dan Indonesia sendiri akan kehilangan peluang itu juga pasca 2045. Peluang emas inilah yang ingin direbut oleh Presiden Jokowi dengan seruannya “Kerja, kerja, kerja !!!" Maka kabinetnya pun dinamakan Kabinet Kerja. Tetapi kalau bangsa Indonesia lebih suka berhura-hura atau hanya berdoa saja, jangan-jangan seliwat tahun 2045 (100 tahun setelah kemerdekaan), Indonesia bukannya menandingi Korea atau Tiongkok (Cina) melainkan makin terpuruk !!!

Kamis, 26 Januari 2017

THE HOUSE OF EGO.

Apa atau siapakah EGO itu? Hewan atau manusia atau jin, atau setan, atau iblis, atau dewa, atau malaikat, atau TUHAN itu sendiri?Aku tidak tahu, maaf apalagi kamu. Semua tidak ada yang tahu, tidak terkecuali, gelap, blangko, kosong melompong. Tapi jangan buru-buru percaya bahwa EGO itu cuma proyeksi dari halusinasi ataupun sekedar illusi. Siapa tahu dia benar-benar ada dan hidup pula.

Begitu kita sadar karena alasan tertentu bahwa kita berada pada posisi ON dan sanggup merasakan sensasi keberadaan yang disebut hidup, pada saat yang sama EGO menunjukkan jatidirinya. EGO atau apapun namanya rupanya cuma sekedar sebutan bagi kehidupan sadar atau keberadaan yang disadari itu sendiri. Sederhana saja, EGO adalah KESADARAN, sedangkan KEBERADAAN adalah hidup. Keduanya menjalin interaksi saling mendukung atau sebaliknya saling menghancurkan. Persis sama dengan fenomena ENERGI DAN MATERI. Dari satu sisi kita semua adalah rumah tak terpisahkan dari pada EGO persis kepiting pertapa dan cangkangnya. Sedang EGO sendiri adalah KEHENDAK BEBAS yang bisa berada dimana saja. Kalimat egois yang akrab ditelinga kita adalah: SEMAU GUE.

ZAMAN EDAN












Sabtu, 21 Januari 2017

ANDAIKATA AKU SEORANG ULAMA


Tidak! Setidak- tidaknya aku tidak boleh tidak, tidak akan bermuka masam baik kepada orang awam yang butuh pencerahan ataupun kaum bangsawan yang perlu dukungan kekuasaan. Tidak ada pilih kasih, juga tidak akan tebang pilih. Akupun tidak akan pernah bosan-bosannya untuk berteriak tidak bagi ketidak adilan, ketidak senonohan, ketidak pahaman dalam menafsirkan firman, ketidak acuhan terhadap norma, etika, akidah, syariah dan jihad fisabilillah penegakan Kalimatullah. Insya Allah. Akupun tidak akan berucap kasar apalagi bertindak kurang ajar maupun berperilaku tidak wajar. Aku tidak akan gusar walaupun aku dibulis, di olok-olok, di ejek, dihujat, dicerca, dicacimaki, bahkan jika difitnah dan dizalimi. Semua hal semacam itu hanyalah batu asahan bagi ketajaman hati nuraniku, maka kubiarkan tergeletak dipinggir jalan panjang kesabaranku. Tidak ada benci tidak ada dendam. Lubuk hatiku sebening embun pagi, sesejuk air perigi. Senyumku adalah ucapan selamat pagi.

Kita semua adalah sahabat, Bahkan lebih dari itu kita semua adalah kerabat. Tidak ada gunanya bertengkar apalagi bermusuhan. Tugasku adalah memandu dijalan damai. Aku tidak butuh popularitas dan tidak pernah haus kekuasaan maupun lapar kehormatan. Aku melangkah bareng pejalan kaki walau tersedia kereta kencana sekalipun. Aku cenderung dekat pada yang pedih menahan lapar ketimbang para agen pemborosan. Aku pemegang teguh prinsip kesederhanaan. Sekalipun aku tidak membenci kemewahan, aku selalu menjauhinya sebagaimana timur dijauhkan dari barat. Aku haqul yakin bahwa siapa saja yang mendekat kepadaku, dia pasti sedang mencari sesuatu. Tentu saja dia kusambut dengan hangat yang tersirat dalam kalimat: "Saudaraku terkasih, mari bicara dari hati ke hati, kita duduk sama rendah, sujud bersama memohon berkah."

Ya, ya, ya, ANDAIKATA AKU SEORANG ULAMA. Kalimat pertama yang aku sampaikan adalah salam universal: Asalamualaikum Warohmatullohi Wabarokahtuh."

MY CHOISE PRESIDENT

Presiden pilihanku jatuh pada sosok tokoh bernama JOKO WIDODO. Dalam bahasa Jawa JOKO bermakna anak laki-laki, lebih spesifiknya berarti KSATRIA. WIDODO artinya SELAMAT. Kalau diruntut motifasi pemberian nama JOKO WIDODO berarti SATRIA SELAMAT. Boleh jadi dalam konteks kepemimpinannya bisa diartikan JURU SELAMAT. Siapa sangka? Siapa kira! Siapa tahu!

Untuk referensi lebih lengkap dan akurat anda bisa mendapatkannya dengan mudah dibanyak media. Menurut hematku, sungguh tidak ada ruginya mengenal beliau lebih jauh, sukur-sukur anda berminat mendukung semua kebijaksanaan dan program beliau dalam membangun NEGARA KESATUAN REPUBLIK INDONESIA. Selamat Bekerja Bapak Presiden!




                                     





Rabu, 18 Januari 2017

BEBAN

Sekali waktu ada saat untuk melepaskan lelah, menghela nafas, mengusap keringat, sambil mengingat-ingat jarak yang sudah ditempuh atau memperkirakan sisa perjalanan yang belum ditempuh untuk sampai ke tempat tujuan.Demi berbagai ragam alasan, hidup dan kehidupan seseorang tidak akan bisa luput dari menanggung beban, baik jiwa maupun raga,tak terkecuali pikiran dan perasaan. Beban adalah ciri utama dari eksistensi. Sifatnya total, global, universal bahkan absolut. Sepertinya kwalitas dan kwantitas hidup seseorang berbanding lurus dengan kesanggupannya memikul beban sesuai dengan versi dan porsinya masing-masing.

Jika beban ditambah melebihi kesanggupan, atau dikurangi dari yang selayaknya, yang terjadi adalah goyahnya keseimbangan yang akan berpengaruh langsung pada laju perkembangan kehidupan. RUPA-RUPANYA HIDUP INI IDENTIK DENGAN BEBAN ITU SENDIRI SEPERTI DUALISME ANTARA ENERGI DAN MATERI. Untungnya alam telah membekali benda anorganik, jasad renik, tanaman, hewan dan manusia dengan kemampuan hebat bernama ADAPTASI, sehingga dalam dinamikanya alam semesta terus menerus sanggup menjalankan tugas utama kehidupan yaitu melakukan perubahan secara berkesinambungan atau EVOLUSI. Sesudah lelahmu musnah, kewajibanmu adalah kembali memikul beban, mengantarkannya sampai ketempat tujuan, Hayo!


HI BUSY PEOPLE

I know you are very busy people. That's why I always tell myself to keep my distance and limiting the time if you want to meet with you for an important affair .I appreciate your work and personal respect for you are worthy and deserve to get it. This time I came and as usual I will soon disappear to re-appear in a random time later .. Not to forget I thank you for your attention and kindness. See you later!