blog

blog

Senin, 29 November 2010

THE BLUE BUBBLE HOUSE.

Rumahmu yang menjadi cermin bagi  jiwamu sungguh begitu indah. Bahkan sangat fantastik. Pantas saja kamu begitu betah berlama-lama tinggal didalamnya. Pantas saja kamu berkata: “Rumakku Istanaku”, atau “Home Sweet Home. Sepertinya ini altar suci yang penjaga gerbangnya tidak mengizinkan sembarang makhluk masuk. Kesannya berada antara angker dan anggun tanpa halaman dan kebun karena tegak dibibir tebing tinggi yang menghadap ke laut lepas. Awan selembut kapas menghampar dibawah cakrawala. Pekik burung camar terdengar sayup-sayup sampai dibawah sana. Debur gelombang ombak menggerus dinding karang hanya menjadi nyanyian latar belakang yang dilantunkan oleh Dewi Mayang. Sunyinya sunyi berisi sejuta arti. Sepinya sepi seribu mimpi. Laksana surga para bidadari.

Sebenarnya aku ingin langsung mengetuk pintu, tetapi penjaga gerbangmu ternyata mencegah langkahku dengan sebilah pedang terhunus dan menatap sekujur tubuhku dengan pandangan merendahkan, meremehkan, setengahnya menghina.  Tetapi ini bukan masalah sopan- santun atau basa-basi. Jadi aku bereaksi biasa-biasa saja. Aku memahami tugas mereka untuk membuat remuk terlebih dahulu setiap benda yang hendak masuk. Aku mengerti bahwa mereka hanya memenuhi apa yang menjadi kewajibannya yaitu menjaga privasimu. Lagi pula misiku adalah menjalin harmoni. Maka jalan yang kutempuh adalah kompromi. Dan dalam hal ini kekuatan utamaku adalah luwes alias fleksibel. Kuikuti lebih dulu iramanya, kuukur tinggi rendah nadanya, setelah semua maching, situasipun sejenak hening, diiringi nyanyian sabda alam, bayang-bayangkupun sibuk mengajak mereka asyik menari. Sedang diriku sendiri menelusup masuk lewat lubang kunci. Aku ingin ketemu kamu sebagai penghuni istana, dan bercakap-cakap dari jiwa ke jiwa, itu saja.

Kondisinya sekarang adalah kita sama-sama telah mengetahui apa dan bagaimana isi hati kita. Oleh sebab itu percakapan kita berlangsung dengan diam seribu bahasa. Tidak ada kata terucap, tidak ada aksara tertoreh. Hanya mata batin yang saling tatap demi merajut harap tentang persahabatan yang karib dan kekerabatan yang erat tanpa syarat. Biarkan yang terjadi terjadilah. Batasi diri cukup sebagai sekedar saksi. Lepaskan jabatan jaksa penuntut, singkirkan hasrat jadi pembela kebohongan, lemparkan palu hakim ke neraka jahanam. Usir jauh-jauh iri, dengki dan dendam. Mari kembali menjadi jati diri yang fitri. Mari menjadi diri sendiri. Meskipun untuk semua itu, aku dan kamu harus pergi jauh meninggalkan rumah kesayangan dan kebanggaan kita, rumah dimana kita bisa bertindak laksana maharani dan maharaja, rumah dimana kita diperlakukan sebagai dewi dan dewa. Rumah yang bisa membuat kita lupa asal-usul kita, seperti kacang lupa pada kulitnya.

Tidak menjadi soal bila rumah kita dibatasi oleh lebarnya benua dan luasnya lautan. Sebab perjalanan silaturahim tidak memandang jarak sebagai tembok penghalang. Meskipun kita harus melintasinya dengan tangan kosong dan telanjang kaki, tetapi kita diberi anugrah Tuhan Yang maha Kuasa berupa mukzizat bernama imajinasi yang bisa merubah lengan menjadi sayap emas untuk terbang setinggi mungkin dan sejauh mana kita ingin, atau telapak kaki menjadi sirip perak untuk mengarungi samodra dan menyelam dikedalaman tak terhingga. Jalur yang kita tempuh untuk saling mengunjungi akan menjelma sebagai pelangi yang indah yang menghubungkan bubungan rumah kita, dimana anak- anak pewaris masa depan terlindung dari mara bahaya dan bisa bermain dengan leluasa penuh suka-cita dan canda-ria.

1 komentar: