Setiap aku hendak menulis sesuatu hal, selalu saja ada waktu jeda yang membentuk halang rintang bagi proses eksekusi dari niat menulis tersebut. Aku tidak tahu persis apakah ini cacat bawaan atau sesuatu hal yang lumrah dan bisa terjadi pada siapa saja yang sedang berusaha merangkai kata bermakna di dunia aksara. Menulis bagiku bukan perkara remeh yang mudah dikerjakan secara instan. Sangat berbeda dengan makan, minum, melihat, mendengar, bicara, bersiul, marah, tertawa, membaca dan bernafas. Pembanding yang cukup sepadan mungkin menyelesaikan soal matematika atau menjabarkan teori relativitas Einstein.
Banyak hal yang diperlukan untuk menggalang hasrat menulis sampai dengan menghasilkan secarik tulisan yang paling sederhana sekalipun. Dari hasil pelacakan sekilas lintas dapat dipastikan bahwa “kemauan bebas” merupakan unsur vital dan paling dominan dalam proses interaksi dengan unsur lainnya agar menulis memperoleh power maksimumnya. Jika “kemauan bebas” bisa dipahami sebagai unsur mulia yang tidak gampang bereaksi dengan sembarang unsur yang ingin mengikatkan diri dengannya, maka misteri dinding pemisah yang merintangi seseorang untuk berkarya dalam bentuk tulisan sepertinya bisa ditembus.
Mengikat “kemauan bebas” bagi kebanyakan orang tidak ubahnya mission imposible. Tapi bagi seseorang yang ingin menulis, belajar menulis, sampai dengan bagi orang-orang yang dianugerahi bakat menulis, bukanlah hal mustahil yang tidak mungkin dikerjakan. “Kemauan bebas” bukan sejenis unggas yang terbang tinggi diangkasa atau emas yang terpendam diperut bumi. Jika “kemauan bebas” boleh dicarikan sinonimnya, mungkin istilah yang mendekati kebenaran adalah kata imajinasi, itupun berdasarkan asumsi bahwa imajinasi adalah bayang-bayang dari wujud gaib “kemauan bebas”.
Kenapa begitu banyak fase sulit yang harus dilalui dalam proses tulis menulis? Kenapa begitu banyak waktu yang tersita untuk menyusun sepatah kata? Kenapa begitu banyak tenaga terkuras buat menghimpun kalimat? Pertanyaan itu hanya bisa dijawab oleh orang yang pernah mencoba mengikat “kemauan bebas” dan mengarahkannya dengan maksud tertentu kearah tujuan tertentu. Itulah tingkah polah para penulis. Beraneka ragam ekspresinya. Ada yang jumpalitan seperti udang digaramin, ada yang kelojotan seperti cacing kepanasan, ada yang terpaku seperti patung, ada yang seperti biksu sedang meditasi, ada yang mondar mandir seperti setrikaan, ada yang seperti mahaguru, ada yang seperti anak TK, ada yang bergaya pengemis cinta dan banyak pula yang bertingkah pencoleng. Yang salah tingkahpun tak terhitung banyaknya. Maka tak heran bila khasanah blog spot penuh dijelali Laskar Pelangi blogger.
Kenapa tanpa terasa jemari keriputku lincah menari-nari diatas keyboard? Begitu berbeda dengan saat baru saja beranjak hendak menulis? Melangkah tertatih-tatih menahan pedih! Adakah Sang Penguasa “kemauan bebas” mendengar keluh kesahku? Dan mengijinkan “kemauan bebas” melangkah seiring sejalan dengan hasrat sejati naluriku? Duh Gusti, bimbinglah aku melintasi fase neraka ini agar sempurna niat baikku untuk menebar kasih diseantero bumi. Sungguh aku tidak bermaksud mencuri milikmu yang paling berharga, bagiku cukup pinjami aku bayang-bayangnya saja, agar aku mampu membuat tulisan tanpa papan dan bersama Jibril yang perkasa mengarungi alam semesta.
Banyak hal yang diperlukan untuk menggalang hasrat menulis sampai dengan menghasilkan secarik tulisan yang paling sederhana sekalipun. Dari hasil pelacakan sekilas lintas dapat dipastikan bahwa “kemauan bebas” merupakan unsur vital dan paling dominan dalam proses interaksi dengan unsur lainnya agar menulis memperoleh power maksimumnya. Jika “kemauan bebas” bisa dipahami sebagai unsur mulia yang tidak gampang bereaksi dengan sembarang unsur yang ingin mengikatkan diri dengannya, maka misteri dinding pemisah yang merintangi seseorang untuk berkarya dalam bentuk tulisan sepertinya bisa ditembus.
Mengikat “kemauan bebas” bagi kebanyakan orang tidak ubahnya mission imposible. Tapi bagi seseorang yang ingin menulis, belajar menulis, sampai dengan bagi orang-orang yang dianugerahi bakat menulis, bukanlah hal mustahil yang tidak mungkin dikerjakan. “Kemauan bebas” bukan sejenis unggas yang terbang tinggi diangkasa atau emas yang terpendam diperut bumi. Jika “kemauan bebas” boleh dicarikan sinonimnya, mungkin istilah yang mendekati kebenaran adalah kata imajinasi, itupun berdasarkan asumsi bahwa imajinasi adalah bayang-bayang dari wujud gaib “kemauan bebas”.
Kenapa begitu banyak fase sulit yang harus dilalui dalam proses tulis menulis? Kenapa begitu banyak waktu yang tersita untuk menyusun sepatah kata? Kenapa begitu banyak tenaga terkuras buat menghimpun kalimat? Pertanyaan itu hanya bisa dijawab oleh orang yang pernah mencoba mengikat “kemauan bebas” dan mengarahkannya dengan maksud tertentu kearah tujuan tertentu. Itulah tingkah polah para penulis. Beraneka ragam ekspresinya. Ada yang jumpalitan seperti udang digaramin, ada yang kelojotan seperti cacing kepanasan, ada yang terpaku seperti patung, ada yang seperti biksu sedang meditasi, ada yang mondar mandir seperti setrikaan, ada yang seperti mahaguru, ada yang seperti anak TK, ada yang bergaya pengemis cinta dan banyak pula yang bertingkah pencoleng. Yang salah tingkahpun tak terhitung banyaknya. Maka tak heran bila khasanah blog spot penuh dijelali Laskar Pelangi blogger.
Kenapa tanpa terasa jemari keriputku lincah menari-nari diatas keyboard? Begitu berbeda dengan saat baru saja beranjak hendak menulis? Melangkah tertatih-tatih menahan pedih! Adakah Sang Penguasa “kemauan bebas” mendengar keluh kesahku? Dan mengijinkan “kemauan bebas” melangkah seiring sejalan dengan hasrat sejati naluriku? Duh Gusti, bimbinglah aku melintasi fase neraka ini agar sempurna niat baikku untuk menebar kasih diseantero bumi. Sungguh aku tidak bermaksud mencuri milikmu yang paling berharga, bagiku cukup pinjami aku bayang-bayangnya saja, agar aku mampu membuat tulisan tanpa papan dan bersama Jibril yang perkasa mengarungi alam semesta.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar