Semilir angin, kicau burung, nyanyian serangga, gemercik air perigi, gelumar ikan menciptakan simfoni sabda alam yang melimpahkan kasih sayang tiada tara kepada segenap makhluk penghuni bumi. Mengayun-ayun, mengelus-elus, menepuk menina bobokan dengan sepenuh cinta. Wahai hati yang galau, duhai fikir yang kacau, singgahlah sejenak ketepian telaga biru maya yang tersembunyi dibalik kabut selembut sutra dewangga. Di hening suasananya tersimpan ratna manikam rasa tentram yang sangat dalam. Dibening airnya termuat hasrat damai yang lemah gemulai.
Kuasa siapakah gerangan yang menggiring langkahku menuju telaga biru maya. Bukankah ini tempat mandi para bidadari? Jalan setapak menuju tirai bambu yang tumbuh disekelilingnya tidak ditandai jejak dan tidak bernama. Tidak ada rambu petunjuk maupun larangan. Tidak ada persimpangan maupun tikungan. Lurus dan semakin jauh tampak makin tirus.
Pada titik temu dengan kaki bukit Mahameru, ketika kabut tipis mulai terkelupas, kau bisa jumpai dirimu bersandar ditebing batu cadas. Barangkali kalbumu yang membeku kini menjadi seputih dan selembut kapas. Dadamu lapang, bebas lepas menghela napas. Dan kepak sayap kupu-kupu ungu menjadi pertanda bagi dimulainya babak baru melodrama kehidupan seorang anak manusia. Biasanya satu episode ditengarai oleh kokok kinantan menyongsong fajar dan warna warni langit senja yang riuh gelepar kelelawar.
Bayang-bayang wajahku sendiri terpantul sempurna dipermukaan telaga biru maya. Maksud hati hendak menyapamu, tapi lidahku terasa kelu. Semakin tinggi pekik panggilan yang kuteriakkan, kau malah melangkah semakin jauh. Dan untuk menjaga agar hati tidak luluh diremas hampa, maka kukatupkan erat bibirku : diam seribu bahasa. Telaga biru maya telah menjadi saksi bisu bagi kisah kasih kita yang sia-sia.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar