Apakah penundaan hukuman atas segala kejahatan yang pernah kulakukan akan berujung pada pengampunan? Itu masih menjadi rahasia Allah semata. Aku cuma bisa berharap dan berdoa, semoga Tuhan berkehendak demikian halnya, sehingga beban jiwa yang kupikul berkurang beratnya. Kalau kesalahan- kesalahan sering kali harus dibayar tunai dengan kesulitan beruntun, kenapa dalam hal kejahatan dan dosa justru aku diberi tenggang waktu yang cukup leluasa agar tidak tergesa-gesa menebusnya? Hikmah apa yang ada dibalik fenomena ini? Pelajaran apa yang bisa dipetik? Inikah bukti nyata bahwa Allah Maha Pengampun? Kenapa Dia menutupi aibku sedemikian rupa sehingga dalam tata gaul antar manusia aku tampil sebagai pribadi tanpa cacat dan cela? Padahal aku seorang pembunuh, seorang pencuri, seorang koruptor, seorang pendusta, seorang penipu, seorang pengkhianat, seorang pemerkosa, pokoknya masih banyak lagi gelar nara durjana yang kusandang.
Sementara aku masih bebas berkeliaran dan lepas dari jerat hukum negara, terpikir olehku bahwa dunia ini bukan tempat bagi terlaksananya keadilan. Banyak paradoks dan anomali dalam dunia peradilan , pengadilan dan keadilan. Aku tidak tahu persis apakah Tuhan, atau paling tidak Hukum-Hukumnya, ikut berperan aktif membentuk moment sarat kerumitan ini. Wallahualam. Bagaimanapun juga, atas takdirku sementara ini, aku berdiri pada posisi yang jauh lebih menguntungkan dibanding dengan takdir orang yang tidak bersalah tapi malah terkena hukuman, atau sedikit lalai justru tertimpa ketukan palu hakim. Kalau aku ingin mengatakan ini sebagai anugrah khusus bagiku, tapi terasa tidak etis. Dan kalau aku melulu mengikuti perasaanku, tambah lama hatiku tambah pilu.
Ketimbang terus menerus bimbang dengan dispensasi, apakah tidak lebih heroik bila posisi menguntungkan yang kuperoleh sebaiknya dimanfaatkan untuk menjalin pendekatan dengan orng-orang yang bernasib malang lantaran memperjuangkan keadilan? Aku harus berusaha meyakinkan mereka bahwa dunia ini tidak adil, terlepas dari hal itu menyakitkan atau bahkan melukai hidup mereka. Tapi itu hal yang sangat nyata. Aku masih sangat merasakannya, dan tanpa bosan berulang kali memikirkannya….
Sementara aku masih bebas berkeliaran dan lepas dari jerat hukum negara, terpikir olehku bahwa dunia ini bukan tempat bagi terlaksananya keadilan. Banyak paradoks dan anomali dalam dunia peradilan , pengadilan dan keadilan. Aku tidak tahu persis apakah Tuhan, atau paling tidak Hukum-Hukumnya, ikut berperan aktif membentuk moment sarat kerumitan ini. Wallahualam. Bagaimanapun juga, atas takdirku sementara ini, aku berdiri pada posisi yang jauh lebih menguntungkan dibanding dengan takdir orang yang tidak bersalah tapi malah terkena hukuman, atau sedikit lalai justru tertimpa ketukan palu hakim. Kalau aku ingin mengatakan ini sebagai anugrah khusus bagiku, tapi terasa tidak etis. Dan kalau aku melulu mengikuti perasaanku, tambah lama hatiku tambah pilu.
Ketimbang terus menerus bimbang dengan dispensasi, apakah tidak lebih heroik bila posisi menguntungkan yang kuperoleh sebaiknya dimanfaatkan untuk menjalin pendekatan dengan orng-orang yang bernasib malang lantaran memperjuangkan keadilan? Aku harus berusaha meyakinkan mereka bahwa dunia ini tidak adil, terlepas dari hal itu menyakitkan atau bahkan melukai hidup mereka. Tapi itu hal yang sangat nyata. Aku masih sangat merasakannya, dan tanpa bosan berulang kali memikirkannya….
Tidak ada komentar:
Posting Komentar